Agama datang bersama air dari laut. Adat tumbuh bersama kita dari tanah.
SAYA memulai tulisan ini dari pertanyaan-pertanyaan. Anda tinggal di belahan bumi Indonesia yang mana? Atau, Anda besar dan tumbuh di mana? Itulah yang akan membedakan cara pandang menyikapi insiden Tolikara, Papua, pada Idul Fitri kemarin. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Tempat lahir, tumbuh, dan mendewasa akan membedakan perspektif dalam memahami banyak hal. Termasuk merespons apa yang terjadi di sebuah kota kecil yang sebelumnya mungkin belum pernah Anda dengar.
Sebagian masyarakat kita masih berbicara tentang toleransi sebagai wacana. Sebagian lagi menjadikan toleransi sebagai urat nadi kehidupan. Saya tidak akan menulis panjang lebar soal insiden Tolikara. Dalam tulisan ini, saya mengajak semua pembaca untuk lebih mengenal tradisi sebagian besar masyarakat di Indonesia Timur. Dalam hal itu, kemungkinan lebih spesifik pada Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kenapa NTT, khususnya Kupang? Sebab, pada akhir dekade 1990-an dan awal 2000-an, terjadi tiga perselisihan antaragama yang me milukan. Di Kupang, Poso, dan Ambon. Konflik di Poso dan Ambon begitu berlarut-larut serta menghadirkan dendam yang sulit dilupakan.
Berbeda halnya dengan percekcokan di Kupang. Pemulihan pascakonflik begitu cepat. Sekarang, 17 tahun kemudian, kami tidak lupa, tetapi tidak ada dendam. Kami belajar dan bertumbuh dari pengalaman itu. Kota Kupang punya Taman Nostalgia dengan Gong Perdamaian sebagai penandanya. Sekarang apakah kita rela melebih-lebihkan insiden Tolikara dan menjadikannya Poso atau Ambon kedua. Atau, memilih menjadi Kupang kedua?
Saya masih remaja ketika me nyaksikan masjid kecil yang dibangun orang tua-orang tua kami di Desa Oebufu (sekarang kelurahan) dibakar dan dirobohkan. Saya melihat sendiri saat api berkobar dan asap tebal di atas Asrama Haji Kupang yang selemparan batu dari rumah. Masih banyak masjid dan musala lain yang hangus dan rusak. Begitu juga halnya dengan rumah dan kios-kios. Rumah saya dan juga tetangga yang beragama Islam terancam.
Dan, di antara semua pengalaman itu, saya tidak pernah lupa bahwa tetangga kami yang beragama Katolik-lah yang menampung kami di rumahnya saat konflik panas-panasnya. Tetangga kami yang beragama Kristen-lah yang menjaga area rumah kami agar tidak menjadi sasaran. Jadi, sebenarnya siapa atau agama mana yang berkonflik saat itu?
Di Kupang dan juga daerah-daerah lain di NTT –begitu juga di Papua– ada filosofi Satu Tungku Tiga Batu. Sebuah kearifan lokal yang terbangun dari keragaman agama. Nah, agar keseimbangan terjaga, umumnya tungku menggunakan tiga buah batu yang disusun dengan rapi agar bisa ditaruh alat me masak di atasnya dan tanpa kesulitan dimasuki kayu bakar di bawahnya. Diibaratkan, tiga batu itu adalah Katolik, Kristen, dan Islam. Tanpa ketiganya, keseimbangan masyarakat di sana akan goyah.
Suatu saat, istri saya yang orang Jawa Timur dan keluarganya, berkunjung ke Kupang. Dia terheran-heran karena ada sepupu, paman, atau kakek saya beragama Katolik. Mereka bersama kami, saudaranya yang Islam, untuk merayakan Idul Fitri. Tidaklah aneh di daerah kami bila dalam satu rumah, sebuah keluarga dari garis keturunan yang sama, memiliki fam atau nama belakang yang sama, tapi berbeda agama.
Semua saling menghormati. Dalam kehidupan bertetangga, ketika ada tetangga beragama Kristen atau Katolik memiliki hajatan, tetangga yang Islam juga ikut sibuk. Mereka akan kebagian tugas memasak makanan halal untuk dihidangkan kepada tamu yang beragama Islam.
Saat perayaan Natal, banyak juga anak-anak dari remaja masjid yang ikut sibuk mendirikan tenda untuk perayaan. Begitu juga ketika ada acara keagamaan Islam. Bahkan, tanyakan ke umat Islam Kelurahan Air Mata, Kupang, siapa yang membantu pembangunan masjid mereka?
Pada 1994, renovasi Masjid Baitul Qadim Air Mata, masjid tertua di Kupang, dilakukan bersama-sama umat Islam dan non-Islam. Ketika itu, pada Minggu, masjid sedang melakukan pengecoran. Oleh pendeta setempat, Imam Birando selaku pemuka Islam di Air Mata diminta untuk menghentikan kegiatan pengecoran karena ada kebaktian di gereja. Siangnya, sepulang warga dari gereja, mereka datang berbondongbondong membantu pengecoran masjid. Kami mempraktikkan toleransi, bukan berbicara soal toleransi sebagai wacana.
Faktanya, kerusuhan pecah pada November 1998 dan pada Januari 1999 umat Islam Kota Kupang sudah bisa berlebaran dengan aman di lapangan terbuka. Terlepas dari pendekatan top down yang dilakukan pemerintah saat itu melalui gubernur atau wali kota, cepat pulihnya Kota Kupang saat itu terjadi karena kesadaran yang bottom-up tanpa campur tangan berlebih orang dari luar NTT.
Selain itu, eratnya hubungan kekerabatan memudahkan proses ter sebut. Di Alor, berkembang sebuah adagium: ’’Agama datang bersama air dari laut. Adat tumbuh bersama kita dari tanah.’’ Karena itu, ketika pendekatan agama tidak mampu menyelesaikan masalah di antara anggota masyarakatnya, biarlah itu diselesaikan dengan pendekatan adat.
Penulis: Ilhamzada
Kolumnis, Putra NTT
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Jawa Pos
Ini hanya percobaan, terima kasih.